UU N0. 19 (HAK CIPTA)
Ketentuan Umum
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud
dengan:
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pencipta adalah seorang atau beberapa
orang secara bersama -sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan
berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau
keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
3. Ciptaan adalah hasil setiap karya
Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni,
atau sastra.
4. Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta
sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta,
atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak
tersebut.
5. Pengumuman adalah pem bacaan,
penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan
menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara
apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
6. Perbanyakan adalah penambahan jumlah
sesuatu Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial
dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk
mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
7. Potret adalah gambar dari wajah orang
yang digambarkan, baik bersama bagian tubuh lainnya ataupun tidak, yang
diciptakan dengan cara dan alat apa pun.
8. Program Komputer adalah sekumpulan
instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk
lain, yang apabila digabun gkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer
akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau
untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang
instruksi-instruksi tersebut.
9. Hak Terkait adalah hak yang berkaitan
dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau
menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau
menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya, dan bagi Lembaga
Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.
10.Pelaku adalah aktor, penyanyi,
pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan,
menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik,
drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya.
11.Produser Rekaman Suara adalah orang
atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk
melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu
pertunjukan maupun perek aman suara atau perekaman bunyi lainnya.
12.Lembaga Penyiaran adalah organisasi
penyelenggara siaran yang berbentuk badan hukum, yang melakukan penyiaran atas
suatu karya siaran dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau
melalui sistem elektromagnetik.
13.Permohonan adalah Permohonan
pendaftaran Ciptaan yang diajukan oleh pemohon kepada Direktorat Jenderal.
14.Lisensi adalah izin yang diberikan
oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk
mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan
persyaratan tertentu.
15.Kuasa adalah konsultan Hak Kekayaan
Intelektual sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang ini.
16.Menteri adalah Menteri yang
membawahkan departemen yang salah satu lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi pembinaan di bidang Hak Kekayaan Intelektual, termasuk Hak Cipta.
17.Direktorat Jenderal adalah Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin
oleh Menteri.
Lingkup
Hak Cipta
BAB II
LINGKUP HAK CIPTA
Bagian Pertama
Fungsi dan Sifat Hak Cipta
Pasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif
bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembata san menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta
atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan
izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan
tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Pasal 3
(1) Hak Cipta dianggap sebagai benda
bergerak.
(2) Hak Cipta dapat beralih atau
dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena:
a. Pewarisan;
b. Hibah;
c. Wasiat;
d. Perjanjian tertulis; atau
e. Sebab-sebab lain yang
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
(1) Hak Cipta yang dimiliki oleh
Pencipta, yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya
atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali
jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.
(2) Hak Cipta yang tidak atau belum
diumumkan yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya
atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali
jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.
Bagian Kedua
Pencipta
Pasal 5
(1) Kecuali terbukti sebaliknya, yang
dianggap sebagai Pencipta adalah:
a. orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan
pada Direktorat Jenderal;
b. orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan
sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan.
(2) Kecuali terbukti sebaliknya, pada
ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa
Penciptanya, orang yang berceramah dianggap sebagai Pencipta ceramah tersebut.
Pasal 6
Jika suatu Ciptaan terdiri atas
beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang
dianggap sebagai Pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi
penyelesaian seluruh Ciptaan itu, atau dalam hal tidak ada orang tersebut, yang
dianggap sebagai Pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak
mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagian Ciptaannya itu.
Pasal 7
Jika suatu Ciptaan yang dirancang
seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan
pengawasan orang yang merancang, Penciptanya adalah orang yang merancang
Ciptaan itu.
Pasal 8
(1) Jika suatu Ciptaan dibuat dalam
hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak
Cipta adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnya Ciptaan itu dikerjakan,
kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak
Pencipta apabila penggunaan Ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan
dinas.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku pula bagi Ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan
yang dilakukan dalam hubungan dinas.
(3) Jika suatu Ciptaan dibuat dalam
hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu
dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan
lain antara kedua pihak.
Pasal 9
Jika suatu badan hukum mengumumkan
bahwa Ciptaan berasal dari padanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai
Penciptanya, badan hukum tersebut dianggap sebagai Penciptanya, kecuali jika
terbukti sebaliknya.
Bagian Ketiga
Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui
Pasal 10
(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya
peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
(2) Negara memegang Hak Cipta atas
folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita,
hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian,
kaligrafi, dan karya seni lainnya.
(3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus
terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah
tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak
Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Jika suatu Ciptaan tidak diketahui
Penciptanya dan Ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas
Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
(2) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan
tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera
nama samaran Penciptanya, penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut
untuk kepentingan Penciptanya.
(3) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan
tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau penerbitnya, Negara memegang Hak
Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
Bagian Keempat
Ciptaan yang Dilindungi
Pasal 12
(1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang
dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang
mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out)
karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis
dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan
ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan,
dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar,
seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan
karya lain dari hasil pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam
huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta
atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum
diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang
memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.
Pasal 13
Tidak ada Hak Cipta atas:
a. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga
Negara;
b. peraturan perundang-undangan;
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat
Pemerintah;
d. putusan pengadilan atau penetapan
hakim; atau
e. keputusan badan arbitrase atau
keputusan badan-badan sejenis lainnya.
Pembatasan Hak Cipta
Bagian Kelima
Pembatasan Hak Cipta
Pasal 14
Tidak dianggap sebagai pelanggaran
Hak Cipta:
a. Pengumuman dan/atau Perbanyakan
lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
b. Pengumuman dan/atau Perbanyakan
segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama
Pemerintah, kecuali apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan
peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri
atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
c. Pengambilan berita aktual baik
seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat
kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan
secara lengkap.
Pasal 15
Dengan syarat bahwa sumbernya harus
disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan
yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik
seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar
Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik
seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu
pengetahuan; atau
(ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran
dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para
tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan suatu Ciptaan selain
Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses
yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan,
dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan
aktivitasnya;
f. perubahan
yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya
arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g. pembuatan salinan cadangan suatu
Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk
digunakan sendiri.
Pasal 16
(1) Untuk kepentingan pendidikan, ilmu
pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap Ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan sastra, Menteri setelah mendengar pertimbangan
Dewan Hak Cipta dapat:
a. mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri
penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik
Indonesia dalam waktu yang ditentukan;
b. mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk
memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak
Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang
ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan tidak melaksanakan
sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau
Perbanyakan Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
(2) Kewajiban untuk menerjemahkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3
(tiga) tahun sejak diterbitkannya Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra
selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
(3) Kewajiban untuk memperbanyak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu:
a. 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang
matematika dan ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di
wilayah Negara Republik Indonesia;
b. 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu
sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik
Indonesia;
c. 7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan
sastra dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik
Indonesia.
(4) Penerjemahan atau Perbanyakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk pemakaian di
dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah
Negara lain.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1 ) huruf b dan huruf c disertai pemberian imbalan yang
besarnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Ketentuan tentang tata cara pengajuan
Permohonan untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 17
Pemerintah melarang Pengumuman setiap
Ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah di bidang agama,
pertahanan dan keamanan Negara, kesusilaan, serta ketertiban umum setelah
mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta.
Pasal 18
(1) Pengumuman suatu Ciptaan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah untuk kepentingan nasional melalui radio,
televisi dan/atau sarana lain dapat dilakukan dengan tidak meminta izin kepada
Pemegang Hak Cipta dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
Pemegang Hak Cipta, dan kepada Pemegang Hak Cipta diberikan imbalan yang layak.
(2) Lembaga Penyiaran yang mengumumkan
Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengabadikan Ciptaan itu
semata-mata untuk Lembaga Penyiaran itu sendiri dengan ketentuan bahwa untuk
penyiaran selanjutnya, Lembaga Penyiaran tersebut harus memberikan imbalan yang
layak kepada Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan.
Proses Pendaftaran HAKI
BAB IV
PENDAFTARAN CIPTAAN
Pasal 35
(1) Direktorat Jenderal menyelenggarakan
pendaftaran Ciptaan dan dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan.
(2) Daftar Umum Ciptaan tersebut dapat
dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.
(3) Setiap orang dapat memperoleh untuk
dirinya sendiri suatu petikan dari Daftar Umum Ciptaan tersebut dengan dikenai
biaya.
(4) Ketentuan tentang pendaftar an
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan
Hak Cipta.
Pasal 36
Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum
Ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud, atau
bentuk dari Ciptaan yang didaftar.
Pasal 37
(1) Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum
Ciptaan dilakukan atas Permohonan yang diajukan oleh Pencipta atau oleh
Pemegang Hak Cipta atau Kuasa.
(2) Permohonan diajukan kepada Direktorat
Jenderal dengan surat rangkap 2 (dua) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan
disertai contoh Ciptaan atau penggantinya dengan dikenai biaya.
(3) Terhadap Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal akan memberikan keputusan paling
lama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya Permohonan secara
lengkap.
(4) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah konsultan yang terdaftar pada Direktorat Jenderal.
(5) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan
tata cara untuk dapat diangkat dan terdaftar sebagai konsultan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang syarat
dan tata cara Permohonan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 38
Dalam hal Permohonan diajukan oleh
lebih dari seorang atau suatu badan hukum yang secara bersama-sama berhak atas
suatu Ciptaan, Permohonan tersebut dilampiri salinan resmi akta atau keterangan
tertulis yang membuktikan hak tersebut.
Pasal 39
Dalam Daftar Umum Ciptaan dimuat,
antara lain:
a. nama Pencipta dan Pemegang Hak Cipta;
b. tanggal penerimaan surat Permohonan;
c. tanggal lengkapnya persyaratan
menurut Pasal 37; dan
d. nomor pendaftaran Ciptaan.
Pasal 40
(1) Pendaftaran Ciptaan dianggap telah
dilakukan pada saat diterimanya Permohonan oleh Direktorat Jenderal dengan
lengkap menurut Pasal 37, atau pada saat diterimanya Permohonan dengan lengkap
menurut Pasal 37 dan Pasal 38 jika Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang
atau satu badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 41
(1) Pemindahan hak atas pendaftaran
Ciptaan, yang terdaftar menurut Pasal 39 yang terdaftar dalam satu nomor, hanya
diperkenankan jika seluruh Ciptaan yang terdaftar itu dipindahkan haknya kepada
penerima hak.
(2) Pemindahan hak tersebut dicatat dalam
Daftar Umum Ciptaan atas permohonan tertulis dari kedua belah pihak atau dari
penerima hak dengan dikenai biaya.
(3) Pencatatan pemindahan hak tersebut
diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 42
Dalam hal Ciptaan didaftar menurut Pasal
37 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 39, pihak lain yang menurut Pasal 2 berhak
atas Hak Cipta dapat mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan Niaga.
Pasal 43
(1) Perubahan nama dan/atau perubahan
alamat orang atau badan hukum yang namanya tercatat dalam Daftar Umum Ciptaan
sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan
atas permintaan tertulis Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang mempunyai nama
dan alamat itu dengan dikenai biaya.
(2) Perubahan nama dan/atau perubahan
alamat tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 44
Kekuatan hukum dari suatu pendaftaran
Ciptaan hapus karena:
a. penghapusan atas permohonan orang
atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta;
b. lampau waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 dengan mengingat Pasal 32;
c. dinyatakan batal oleh putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
UU NO. 36
(TELEKOMUNIKASI)
Azaz dan Tujuan Telekomunikasi
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan
berdasarkan asas manfaat,adil dan merata,kepastian
hukum,keamanan,kemitraan,etika dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan
tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa,meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,mendukung kehidupan ekonomi dan
kegiatan pemerintahan,serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Penyelenggaraan Komunikasi
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi
meliputi :
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c.penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi,
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat
dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.
Bagian Kedua
Penyelenggara
Pasal 8
(1) Penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh
badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan
perundang- undangan yang berlaku, yaitu
:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta; atau
d. koperasi.
(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf c dapat dilakukan oleh :
a. Perseorangan
b. instansi pemerintah;
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi
dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa
telekomunikasi.
(2) Penyelengara jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa
telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan
telekomunikasi.
(3) Penyelenggara telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk :
a. keperluan sendiri;
b. keperluan pertahanan keamanan negara;
c. keperluan penyiaran.
(4) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. dinas khusus;
d. badan hukum.
(5)Ketentuan mengenai persyaratan
penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penyidikan
BABV
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Iingkungan Departemen yang
Iingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran Iaporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang
diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi
atau tersangka;
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana
di bidang telekomunikasi;
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan
tindak pidana di bidang telekomunikasi;
g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana
di bidang telekomunikasi;
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan .
i. mengadakan penghentian penyidikan
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diiaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum
Acara Pidana.
Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana
BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan
Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal
29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34
ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi admiriistrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda
paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau
Pasal 29 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat,
merakit, memasukkan atau menggunakan
perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak
sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak
Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana
penjara paling Iama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi
yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal
48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54,
Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
RUU TENTANG INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE) PERATURAN LAIN YANG TERKAIT (PERATURAN BANK
INDONESIA TENTANG INTERNET BANKING)
A. Pendahuluan
Saat ini pemanfaatan teknologi
informasi merupakan bagian penting dari hampir seluruh aktivitas masyarakat.
Bahkan di dunia perbankan dimana hampir seluruh proses penyelenggaraan sistem
pembayaran dilakukan secara elektronik (paperless).
Perkembangan teknologi informasi
tersebut telah memaksa pelaku usaha mengubah strategi bisnisnya dengan
menempatkan teknologi sebagai unsur utama dalam proses inovasi produk dan jasa.
Pelayanan electronic transaction (e-banking) melalui internet banking merupakan
salah satu bentuk baru dari delivery channel pelayanan bank yang mengubah
pelayanan transaksi manual menjadi pelayanan transaksi oleh teknologi.
Internet banking bukan merupakan
istilah yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi yang tinggal
di wilayah perkotaan. Hal tersebut dikarenakan semakin banyaknya perbankan
nasional yang menyelenggarakan layanan tersebut.
Penyelenggaraan internet banking yang
sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi, dalam kenyataannya
pada satu sisi membuat jalannya transaksi perbankan menjadi lebih mudah, akan
tetapi di sisi lain membuatnya semakin berisiko. Dengan kenyataan seperti ini,
keamanan menjadi faktor yang paling perlu diperhatikan. Bahkan mungkin faktor
keamanan ini dapat menjadi salah satu fitur unggulan yang dapat ditonjolkan
oleh pihak bank.
Salah satu risiko yang terkait dengan
penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah internet fraud atau penipuan
melalui internet. Dalam internet fraud ini menjadikan pihak bank atau nasabah
sebagai korban, yang dapat terjadi karena maksud jahat seseorang yang memiliki
kemampuan dalam bidang teknologi informasi, atau seseorang yang memanfaatkan
kelengahan pihak bank maupun pihak nasabah.
Oleh karena itu perbankan perlu
meningkatkan keamanan internet banking antara lain melalui standarisasi
pembuatan aplikasi internet banking, adanya panduan bila terjadi fraud dalam
internet banking dan pemberian informasi yang jelas kepada user.
B. Peranan Bank Indonesia dalam Pencegahan Internet Fraud
Salah satu tugas pokok Bank Indonesia
sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 adalah mengatur dan
mengawasi bank. Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut Bank Indonesia
diberikan kewenangan sbb:
a. Menetapkan peraturan perbankan
termasuk ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip-prinsip
kehati-hatian.
b. Memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, memberikan izin pembukaan,
penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan
dan kepengurusan bank.
c. Melaksanakan pengawasan bank secara
langsung dan tidak langsung.
d. Mengenakan sanksi terhadap bank
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
e. Pelaksanaan kewenangan tugas-tugas
tersebut di atas ditetapkan secara lebih rinci dalam Peraturan Bank Indonesia
(PBI).
Terkait dengan tugas Bank Indonesia
mengatur dan mengawasi bank, salah satu upaya untuk meminimalisasi internet
fraud yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah melalui pendekatan aspek
regulasi. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan
serangkaian Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia yang harus
dipatuhi oleh dunia perbankan antara lain mengenai penerapan manajemen risiko
dalam penyelenggaraan kegiatan internet banking dan penerapan prinsip Know Your
Customer (KYC).
1. Manajemen risiko dalam
penyelenggaraan kegiatan internet banking
Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia terkait dengan pengelolaan atau manajemen risiko penyelenggaraan
kegiatan internet banking adalah Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank
Indonesia No. 6/18/DPNP, tanggal 20 April 2004 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking).
Pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a. Bank yang menyelenggarakan kegiatan
internet banking wajib menerapkan manajemen risiko pada aktivitas internet
banking secara efektif.
b. Penerapan manajemen risiko tersebut
wajib dituangkan dalam suatu kebijakan, prosedur dan pedoman tertulis dengan
mengacu pada Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa
Bank Melalui Internet (Internet Banking), yang ditetapkan dalam lampiran dalam
Surat Edaran Bank Indonesia tersebut.
c. Pokok-pokok penerapan manajemen
risiko bagi bank yang menyelenggarakan kegiatan internet banking adalah:
1) Adanya pengawasan aktif komisaris dan direksi bank, yang
meliputi:
-Komisaris dan direksi harus melakukan pengawasan yang
efektif terhadap risiko yang terkait dengan aktivitas internet banking,
termasuk penetapan akuntabilitas, kebijakan dan proses pengendalian untuk
mengelola risiko tersebut.
-Direksi harus menyetujui dan melakukan kaji ulang terhadap
aspek utama dari prosedur pengendalian pengamanan bank.
2) Pengendalian pengamanan (security control)
-Bank harus melakukan langkah-langkah yang memadai untuk
menguji keaslian (otentikasi) identitas dan otorisasi terhadap nasabah yang
melakukan transaksi melalui internet banking.
-Bank harus menggunakan metode pengujian keaslian transaksi untuk
menjamin bahwa transaksi tidak dapat diingkari oleh nasabah (non repudiation)
dan menetapkan tanggung jawab dalam transaksi internet banking.
-Bank harus memastikan adanya pemisahan tugas dalam sistem
internet banking, database dan aplikasi lainnya.
-Bank harus memastikan adanya pengendalian terhadap otorisasi
dan hak akses (privileges) yang tepat terhadap sistem internet banking,
database dan aplikasi lainnya.
-Bank harus memastikan tersedianya prosedur yang memadai
untuk melindungi integritas data, catatan/arsip dan informasi pada transaksi
internet banking.
-Bank harus memastikan tersedianya mekanisme penelusuran
(audit trail) yang jelas untuk seluruh transaksi internet banking.
-Bank harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi kerahasiaan
informasi penting pada internet banking. Langkah tersebut harus sesuai dengan
sensitivitas informasi yang dikeluarkan dan/atau disimpan dalam database
3) Manajemen Risiko Hukum dan Risiko Reputasi
-Bank harus memastikan bahwa website bank menyediakan
informasi yang memungkinkan calon nasabah untuk memperoleh informasi yang tepat
mengenai identitas dan status hukum bank sebelum melakukan transaksi melalui
internet banking.
-Bank harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa
ketentuan kerahasiaan nasabah diterapkan sesuai dengan yang berlaku di negara
tempat kedudukan bank menyediakan produk dan jasa internet banking.
-Bank harus memiliki prosedur perencanaan darurat dan
berkesinambungan usaha yang efektif untuk memastikan tersedianya sistem dan
jasa internet banking.
-Bank harus mengembangkan rencana penanganan yang memadai
untuk mengelola, mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari
kejadian yang tidak diperkirakan (internal dan eksternal) yang dapat menghambat
penyediaan sistem dan jasa internet banking.
-Dalam hal sistem penyelenggaraan internet banking dilakukan oleh pihak
ketiga (outsourcing), bank harus menetapkan dan menerapkan prosedur pengawasan
dan due dilligence yang menyeluruh dan berkelanjutan untuk mengelola hubungan
bank dengan pihak ketiga tersebut.
2. Penerapan prinsip Know Your
Customer (KYC)
Upaya lainnya yang dilakukan oleh
Bank Indonesia dalam rangka meminimalisir terjadinya tindak kejahatan internet
fraud adalah pengaturan kewajiban bagi bank untuk menerapkan prinsip mengenal
nasabah atau yang lebih dikenal dengan prinsip Know Your Customer (KYC).
Pengaturan tentang penerapan prinsip KYC terdapat dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know
Your Customer Principles) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia No. 3/23/PBI/2001 dan Surat Edaran Bank Indonesia 6/37/DPNP tanggal
10 September 2004 tentang Penilaian dan Pengenaan Sanksi atas Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah dan Kewajiban Lain Terkait dengan Undang-Undang tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
Pokok-pokok pengaturannya antara lain
sbb:
a. Prinsip Mengenal Nasabah adalah
prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau
kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.
b. Dalam menerapkan Prinsip Mengenal
Nasabah, bank wajib:
1) Menetapkan kebijakan
penerimaan nasabah.
2) Menetapkan
kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi nasabah.
3) Menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap
rekening dan transaksi nasabah.
4) Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang
berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
c. Terkait dengan kebijakan penerimaan
dan identifikasi nasabah, maka:
1) Sebelum melakukan
hubungan usaha dengan nasabah, bank wajib meminta informasi mengenai identitas
calon nasabah, maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan calon
nasabah dengan bank, informasi lain yang memungkinkan bank untuk dapat
mengetahui profil calon nasabah dan identitas pihak lain dalam hal calon
nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain. Identitas calon nasabah tersebut
harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen pendukung dan bank wajib meneliti
kebenaran dokumen-dokumen pendukung tersebut.
2) Bagi bank yang telah menggunakan media elektronis dalam
pelayanan jasa perbankan wajib melakukan pertemuan dengan calon nasabah sekurang-kurangnya
pada saat pembukaan rekening.
d. Dalam hal calon nasabah bertindak
sebagai perantara dan atau kuasa pihak lain (beneficial owner) untuk membuka
rekening, bank wajib memperoleh dokumen-dokumen pendukung identitas dan
hubungan hukum, penugasan serta kewenangan bertindak sebagai perantara dan atau
kuasa pihak lain. Dalam hal bank meragukan atau tidak dapat meyakini identitas
beneficial owner, bank wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha dengan
calon nasabah.e. Bank wajib menatausahakan dokumen-dokumen pendukung nasabah
dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sejak nasabah menutup
rekening pada bank. Bank juga wajib melakukan pengkinian data dalam hal
terdapat perubahan terhadap dokumen-dokumen pendukung tersebut.
e. Bank wajib memiliki sistem informasi
yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan
secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah
bank.
f. Bank
wajib memelihara profil nasabah yang sekurang-kurangnya meliputi informasi
mengenai pekerjaan atau bidang usaha, jumlah penghasilan, rekening lain yang
dimiliki, aktivasi transaksi normal dan tujuan pembukaan rekening.
g. Bank wajib memiliki kebijakan dan
prosedur manajemen risiko yang sekurang-kurangnya mencakup:
1) Pengawasan oleh pengurus bank (management oversight).
2) Pendelegasian wewenang.
3) Pemisahan tugas.
4) Sistem pengawasan intern termasuk audit intern.
5) Program pelatihan karyawan mengenai penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah.
h. Bank Indonesia melakukan penilaian
terhadap pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah/KYC dan Undang- Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dimana penilaian tersebut dilakukan secara
kualitatif atas faktor-faktor manajemen risiko penerapan KYC.
3. Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu dan Transparansi Produk Bank
Regulasi lainnya yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia terkait dengan upaya meminimalisir internet fraud adalah
regulasi mengenai penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu (APMK), mengingat APMK merupakan alat atau media yang sering digunakan
dalam kejahatan internet fraud. Ketentuan mengenai penyelenggaraan APMK
terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No. 6/30/PBI/2004 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan Surat
Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP, tanggal 30 Desember 2005 tentang Prinsip
Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan Dalam
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Adapun pokok-pokok pengaturannya
antara lain sbb:
a. Alat Pembayaran Dengan Menggunakan
Kartu (APMK) adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu ATM, kartu
debet, kartu prabayar dan atau yang dipersamakan dengan hal tersebut.
b. Bagi bank dan lembaga bukan bank yang
merupakan penyelenggara APMK harus menyerahkan bukti penerapan manajemen
risiko.
c. Penerbit APMK wajib meningkatkan
keamanan APMK untuk meminimalkan tingkat kejahatan terkait dengan APMK dan
sekaligus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap APMK.
d. Peningkatan keamanan tersebut
dilakukan terhadap seluruh infrastruktur teknologi yang terkait dengan
penyelenggaraan APMK, yang meliputi pengamanan pada kartu dan pengamanan pada
seluruh sistem yang digunakan untuk memproses transaksi APMK termasuk
penggunaan chip pada kartu kredit. Selain itu, Bank Indonesia juga mengeluarkan
regulasi mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data
pribadi nasabah, sebagai upaya untuk mengedukasi nasabah terhadap produk bank
dan meningkatkan kewaspadaan nasabah terhadap berbagai risiko termasuk internet
fraud. Ketentuan tersebut terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No.
7/6/PBI/2005 Jo SE No. 7/25/DPNP tentang Transparansi Informasi Produk Bank Dan
Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Pokok-pokok pengaturan dalam
ketentuan tersebut antara lain sbb:
a. Bank wajib menerapkan transparansi
informasi mengenai Produk Bank dan penggunan Data Pribadi Nasabah.
b. Bank dilarang memberikan informasi
yang menyesatkan (mislead) dan atau tidak etis (misconduct).
c. Informasi Produk Bank tersebut,
minimal meliputi: nama produk, jenis produk, manfaat dan resiko produk,
persyaratan dan tatacara penggunaan produk, biaya-biaya yang melekat pada
produk, perhitungan bunga atau bagi hasil dan margin keuntungan, jangka waktu
berlakunya Produk Bank, penerbitan (issuer/originator) Produk Bank.
d. Bank wajib memberikan informasi
kepada nasabah mengenai manfaat dan risiko pada setiap produk bank, dimana bank
harus menjelaskan secara terinci setiap manfaat yang diperoleh nasabah dari
suatu produk bank dan potensi risiko yang dihadapi oleh nasabah dalam masa
penggunaan produk bank.
C. Rahasia Bank
Salah satu hal penting dalam
memproses pelaku internet fraud adalah pembukaan rahasia bank untuk memperoleh
keterangan simpanan milik pelaku internet fraud tersebut, dimana keterangan
tersebut dapat dijadikan salah bukti oleh aparat penegak hukum untuk keperluan
persidangan pidana.
Ketentuan mengenai rahasia bank
diatur dalam UU Perbankan dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian
Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Berdasarkan ketentuan
tersebut, pada prinsipnya setiap Bank dan afiliasinya wajib merahasiakan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya (Rahasia Bank). Sedangkan
keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, tidak wajib
dirahasiakan.
Terhadap Rahasia Bank dapat
disimpangi dengan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia untuk kepentingan
perpajakan, penyelesaian piutang bank oleh BUPN/PUPLN dan kepentingan peradilan
perkara pidana dimana status nasabah penyimpan yang akan dibuka rahasia bank
harus tersangka atau terdakwa. Terhadap Rahasia Bank dapat juga disimpangi
tanpa izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia yakni untuk kepentingan
perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, tukar menukar informasi antar
bank, atas permintaan/persetujuan dari nasabah dan untuk kepentingan ahli waris
yang sah.
Dalam hal diperlukan pemblokiran dan
atau penyitaan simpanan atas nama seorang nasabah penyimpan yang telah
dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh pihak aparat penegak hukum,
berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) PBI Rahasia Bank, dapat dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa
memerlukan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia.
Namun demikian untuk memperoleh
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanan nasabah yang diblokir dan
atau disita pada bank, menurut Pasal 12 ayat (2) PBI Rahasia Bank, tetap
berlaku ketentuan mengenai pembukaan Rahasia Bank dimana memerlukan izin
terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia.
D. Urgensi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana)
Payung hukum setingkat undang-undang
yang khusus mengatur tentang kegiatan di dunia maya hingga saat ini belum ada
di Indonesia. Dalam hal terjadi tindak pidana kejahatan di dunia maya, untuk
penegakan hukumnya masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada di KUHP yakni
mengenai pemalsuan surat (Pasal 263), pencurian (Pasal 362), penggelapan (Pasal
372), penipuan (Pasal 378), penadahan (Pasal 480), serta ketentuan yang
terdapat dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Undang-Undang tentang Merek.
Ketentuan-ketentuan tersebut tentu
saja belum bisa mengakomodir kejahatan-kejahatan di dunia maya (cybercrime)
yang modus operandinya terus berkembang. Selain itu dalam penanganan kasusnya
seringkali menghadapi kendala antara lain dalam hal pembuktian dengan
menggunakan alat bukti elektronik dan ancaman sanksi yang terdapat dalam KUHP
tidak sebanding dengan kerugian yang diderita oleh korban, misalnya pada kasus
internet fraud, salah satu pasal yang dapat digunakan adalah Pasal 378 KUHP
(penipuan) yang ancaman hukumannya maksimum 4 (empat) tahun penjara sedangkan
kerugian yang mungkin diderita dapat mencapai miliaran rupiah.
Terkait dengan hal-hal tersebut di
atas, kehadiran Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) dan Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana) diharapkan
dapat menjadi faktor penting dalam upaya mencegah dan memberantas cybercrimes
serta dapat memberikan deterrent effect kepada para pelaku cybercrimes sehingga
akan berfikir jauh untuk melakukan aksinya. Selain itu hal yang penting lainnya
adalah pemahaman yang sama dalam memandang cybercrimes dari aparat penegak
hukum termasuk di dalamnya law enforcement.
Adapun Rancangan Undang-Undang (RUU)
ITE dan RUU Transfer Dana saat ini telah diajukan oleh pemerintah dan sedang
dilakukan pembahasan di DPR RI, dimana dalam hal ini Bank Indonesia terlibat
sebagai narasumber khususnya untuk materi yang terkait dengan informasi dan
transaksi keuangan.
Upaya yang dilakukan Bank Indonesia
untuk meminimalisir terjadinya kejahatan internet fraud di perbankan adalah
dengan dikeluarkannya serangkaian peraturan perundang-undangan, dalam bentuk
Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE), yang mewajibkan
perbankan untuk menerapkan manajemen risiko dalam aktivitas internet banking,
menerapkan prinsip mengenal nasabah/Know Your Customer Principles (KYC),
mengamankan sistem teknologi informasinya dalam rangka kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu dan menerapkan transparansi informasi mengenai Produk
Bank dan penggunan Data Pribadi Nasabah.
Lebih lanjut, dalam rangka memberikan
payung hukum yang lebih kuat pada transaksi yang dilakukan melalui media
internet yang lebih dikenal dengan cyber law maka perlu segera dibuat
Undang-Undang mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang
mengenai Transfer Dana (UU Transfer Dana). Dengan adanya kedua undang-undang
tersebut diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam upaya mencegah dan
memberantas cybercrimes termasuk mencegah kejahatan internet fraud.